Literaksi.com – Tahun 1862-an, plastik pertama kali dikenalkan oleh seorang pria asal London, Alexander Parkes pada sebuah ekshibisi internasional. Zaman itu, plastik hadir menjadi solusi dengan tujuan menyelamatkan bumi dari krisis keterbatasan sumber daya alam.
Pasalnya, bidang industri masa itu bergantung sepenuhnya pada hasil alam salah satunya kayu. Penggunaan kayu yang begitu massif, memunculkan berbagai pertanyaan sampai kapan kayu akan terus ditebang dan dimanfaatkan. Dimana ujung dari pertanyaan itu adalah tentang ketersediaan oksigen serta krisis kelestarian lingkungan.
Plastik kemudian menjadi penemuan terbaik manusia hingga muncul istilah “Revolusi Plastik” di dunia industri. Meski sebagian besar didasarkan alasan ekonomis, praktis dan tahan lama, namun lambat laun, plastik menjadi bom waktu yang sedang mengincar kehidupan umat manusia.
Produksi yang terlalu banyak dan cepat, membuat plastik kini menjadi penyakit yang perlahan menggerogoti inti kehidupan bumi mulai dari udara, tanah hingga air. Dampak nyata masalah plastik tercermin dari film dokumenter “Pulau Plastik” yang dirilis pada April 2021.
Dalam film ini, mata kita benar-benar dibuka tentang dampak plastik yang menyusup ke rantai makanan dan dampaknya terhadap kesehatan manusia. Fakta ini dengan tegas tergambar dari fenomena sampah plastik yang banyak ditemukan di laut dan tepi garis pantai di Indonesia.
Fakta lain datang dari dunia penelitian yang menyebutkan bahwa di dalam tubuh hewan laut yang kita konsumsi juga sudah tercemar plastik. Sementara, dilansir dari CNN, Indonesia menempati urutan kedua sebagai penghasil sampah plastik ke laut setelah Tiongkok.
Sampah plastik, baik yang bentuknya masih utuh atau sudah hancur menjadi partikel kecil, bisa mengakibatkan pencemaran air. Hal ini terjadi karena plastik membawa zat kimia, seperti bifenil poliklorinasi dan pestisida, yang dapat mengontaminasi air serta meracuni dan merusak habitat makhluk hidup yang tinggal di sekitarnya.
Ketika dikonsumsi oleh hewan laut, racun ini juga bisa masuk ke dalam tubuh manusia bila sampai hewan laut tersebut diolah dan dikonsumsi. Sungguh miris melihat bagaimana dampak nyata yang akan terjadi, namun sebagai manusia kita masih saja tidak tahu dan yang lebih parah adalah DIAM. Kalimat yang paling mengena dari film tersebut adalah “Bisa jadi nanti di tahun 2050 anak cucu kita memakan plastik”.
Mengutip dari Fikih Air dan Lingkungan, air merupakan salah satu kenikmatan dari Allah SWT yang diturunkan di bumi bukan hanya untuk manusia, namun juga seluruh makhluk hidup. Ini menjadi dasar manusia yang punya kewajiban baik secara akal budi dan keimanan untuk memecahkan masalah sampah ini.
Dengan zaman yang semakin canggih, ada banyak cara yang bisa dilakukan untuk mengurangi plastik. Contohnya, kita bisa mengurangi penggunaan sedotan plastik dengan menggantinya menggunakan sedotan stainless. Sedotan stainless ini sendiri sudah marak dijual di masyarakat dan tentunya mudah untuk mendapatkannya.
Selanjutnya pada kebiasaan menggunakan plastik untuk berbelanja. Kebiasaan yang sudah menjadi budaya ini sebenarnya juga bisa dirubah dengan membawa kantong belanja sendiri. Kantong bisa terbuat dari kain dan bisa digunakan berkali-kali. Selain itu, kita juga bisa memulai dengan membawa tempat minum dan wadah makan sendiri ketika membeli makanan dan minuman.
Bergeser pada skala yang lebih luas, pengurangan sampah plastik sebenarnya bisa dimulai dengan pemilihan sampah secara mandiri dari tingkat rumah tangga. Setiap keluarga harus diwajibkan memilah sampah mulai dari organik dan anorganik. Sampah plastik kemudian dapat diolah untuk didaur ulang. Bisa jadi bahan bakar, kerajinan yang bernilai ekonomis dan lain sebagainya.
Tentu saja untuk menuju konsep tersebut, dibutuhkan adanya kebijakan dan dasar hukum. Pemerintah bersama organisasi serta pihak terkait, harus mampu merumuskan sebuah kebijakan dan payung hukum yang mengatur cara mengurangi sampah hingga ke tingkat terbawah. Pasalnya, pengolahan sampah tidak bisa hanya sekedar program yang menunggu kesadaran dan kepedulian dari setiap orang. Namun, perlu adanya aturan yang memang mengatur setiap warga untuk mulai mengurangi sampah hingga hal itu menjadi kebiasaan dan budaya.
Bima Supriyadi
MK Islam dan Ipteks
Prodi Administrasi Publik/Karyawan
UNISA YOGYAKARTA