Literaksi.com – Sebanyak 6 perwira menengah serta perwira pertama polisi ditetapkan sebagai tersangka pada kasus pembunuhan berencana Brigadir J. Hal itu menyusul ditemukannya unsur menghalangi penyidikan atau obstruction of justice dengan merusak barang bukti.
Sebanyak enam anggota polri dengan pangkat perwira menengah dan pertama itu antara lain, Brigjen Pol Hendra Kurniawan, Kombes Pol Agus Nurpatria, AKBP Arif Rahman Arifin, Kompol Baiqul Wibowo, Kompol Chuk Putranto, dan AKP Irfan Widyanto.
Irjen Ferdy Sambo masuk dalam daftar tersebut dan ikut ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana menghalangi penyidikan kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir J di tempat kejadian perkara Duren Tiga.
“Sehingga, total ada tujuh anggota Polri yang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini,” kata Kepala Divisi Humas Polri, Irjen Pol Dedi Prasetyo, Kamis (1/9/2022).
Dedi menyebutkan, keenam tersangka, kecuali Ferdy Sambo berperan dalam merusak barang bukti berupa ponsel, CCTV, dan menambahkan barang bukti di tempat kejadian perkara.
Menanggpi dengan ditetapkannya 6 anggota polri dengan pangkat perwira menjadi tersangka menghalang-halangi penyelidikan polri, pakar hukum pidana dari Universitas Al-Azhar, Suparji Ahmad, menilai Polri telah bertindak tegas usai menetapkan tujuh perwira polisi sebagai tersangka.
“Menurut saya, satu sisi kita lihat itu sebagai sebuah langkah tegas,” kata dia.
Usai ditetapkan sebagai tersangka menghalang-halangi penyidikan, kata dia, Polri harus mengurai kesalahan masing-masing tersangka. “Pada sisi yang lain adalah sebetulnya juga perlu dirinci tentang kesalahan masing-masing,” ujar dia.
Ia menyebut dalam pemeriksaan etik, Polri harus melihat sejauh mana tingkat kesalahan yang dilakukan para tersangka.
“Kemudian juga perlu dilihat sejauh mana kesalahan itu dilakukan. Artinya, ada (atau) tidak (ada) mens rea-nya, ada (atau) tidak (ada) niat jahatnya? Atau semata-mata hanya perintah jabatan atau perintah atasan,” ucapnya.
Jika dalam pemeriksaan etik ditemukan unsur perintah atasan untuk menghalangi penyidikan, kata dia, yang menerima perintah tersebut tak semestinya dijadikan tersangka.
“Jadi, kalau memang itu ada unsur perintah jabatan dan itu memenuhi unsur pasal 51 KUHP mestinya tidak perlu ditetapkan jadi tersangka,” ujarnya.
Lebih lanjut, kata dia, jika ditemukan unsur perintah atasan, maka Polri harus mengungkap siapa atasan itu. Ia bilang, atasan itulah yang menjadi penggagas upaya menghalangi penyidikan.
“Siapa yang memang menggagas perusakan barang bukti tadi itu, sehingga ini adalah jelas tidak bisa kemudian digeneralisir, harus kasus per kasus, harus personal per personal, dan kemudian juga dilakukan pertimbangan-pertimbangan yang objektif,” tuturnya.