Literaksi.com – Hakim di Pengadilan Negeri (PN) Yogyakarta tetap menjalankan persidangan seperti biasa pada hari Senin, meskipun ada seruan aksi cuti massal untuk memperjuangkan kesejahteraan hakim pada 7-11 Oktober 2024.
“Kami tetap menjalankan persidangan, bahkan hari ini ada lebih dari 25 sidang,” kata dia Senin 7 Oktober.
Heri menegaskan bahwa dari 27 hakim yang bertugas di PN Yogyakarta, tidak ada satu pun yang mengajukan cuti. Namun, para hakim di PN Yogyakarta tetap menunjukkan solidaritas dengan mengenakan pita putih di lengan sebagai dukungan terhadap aksi nasional tersebut.
Menurut Heri, hakim di PN Yogyakarta awalnya sudah siap mengikuti aksi cuti massal, namun memilih untuk menunda sambil menunggu perkembangan hasil audiensi terkait kenaikan gaji di tingkat pusat.
“Kami tetap mendukung aksi ini dengan mengenakan pita putih selama persidangan atau selama aksi berlangsung,” ujar Heri.
Selain menunggu perkembangan dari pusat, lanjut Heri, persidangan tetap dilanjutkan karena banyak kasus yang sedang dalam tahap pemeriksaan dan putusan, yang berisiko jika ditunda.
“Beberapa kasus sudah masuk tahap pemeriksaan atau putusan. Ini bisa berisiko jika tidak dilaksanakan karena terkait dengan masalah penahanan dan lainnya,” jelasnya.
Namun, jika tuntutan terkait kesejahteraan hakim tidak direspons, Heri memperkirakan para hakim di PN Yogyakarta akan bergabung dalam aksi cuti massal seperti yang dilakukan hakim di wilayah lain.
“Jika dari pusat tidak ada solusi dan harapan tidak terlihat, kemungkinan besar semua hakim akan mengikuti aksi seperti pada tahun 2012 ketika terjadi kenaikan gaji pertama,” kata Heri.
Sebelumnya, Solidaritas Hakim Indonesia menyerukan Gerakan Cuti Bersama Hakim se-Indonesia pada 7-11 Oktober 2024. Gerakan ini merupakan upaya untuk memperjuangkan kesejahteraan, independensi, dan kehormatan lembaga peradilan di Indonesia.
Juru Bicara Solidaritas Hakim Indonesia, Fauzan Arrasyid, dalam pernyataan tertulis pada Kamis 26 September 2024, menyatakan bahwa ketidakmampuan pemerintah dalam menyesuaikan penghasilan hakim merupakan kemunduran dan berpotensi mengancam integritas peradilan.
“Tanpa kesejahteraan yang layak, hakim bisa rentan terhadap praktik korupsi karena penghasilan mereka tidak mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari,” tegasnya.