Literaksi.com – Angin di Turgo, Purwobinangun, Sleman pagi ini berhembus pelan namun tetap memberikan kesejukan. Terik sinar matahari bersikutan mencari celah di antara rindangnya pepohonan.
Seketika kesunyian terpecah, oleh langkah kaki Musimin yang berjalan menyusuri perbukitan Turgo. Sesekali, ia melihat ke pepohonan di kanan dan kiri yang berbaris tak beraturan.
Berbeda dari kebanyakan orang yang hanya datang ke hutan Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) untuk mencari rumput, pria berjenggot putih ini justru melihat sekeliling di jalan yang ia lewati seperti sedang mencari sesuatu.
Langkahnya kemudian terhenti pada sebuah tempat yang masih lebat dan sejuk dengan jajaran pohon Puspa (Schima Walilcii). Di tubuh pohon dengan diameter bervariasi antara 20 cm – 50 cm itu, terdapat gulungan tali ijuk berwarna hitam yang mengikat batang-barang anggrek.
Musimin menyebutnya sebagai tempat konservasi anggrek yang ia kembangkan melalui kegiatan “Adopsi Anggrek”. Tempat ini, kata Musimin sebagai lokasi menggembalikan anggrek ke habitat aslinya agar tetap lestari.
Adopi Anggrek adalah cara Musimin mengajak masyarakat luas untuk turut serta berkontribusi dalam melakukan konservasi lingkungan, khususnya habitat orchidaceace. Kemudian selama dua tahun Musimin akan merawat dan menjaga anggrek yang telah diadopsi.
Kegiatan ini telah dilakukan Musimin sejak 2015 hingga sekarang. Kondisi pandemi Covid-19 dua tahun lalu, diakui Musimin membuat kegiatannya tersebut sempat terhenti.
Sesekali, Musimin mengenang betapa dulu anggrek hutan masih mudah dijumpai. Orang-orang bisa mengambil dan menjualnya dengan mudah dan tak banyak orang yang memperdulikan keberadaannya.
Tapi kondisi itu berubah setelah erupsi Merapi pada 1994 yang menghanguskan habitat asli anggrek-anggrek di lereng selatan bagian barat Gunung Merapi. Pun ditambah dengan kebakaran hutan di kawasan Turgo pada 2001.
Berangkat dari peristiwa tersebut, sebagai warga asli lereng Merapi, ia merasa terpanggil untuk melestarikannya. Ia mengaku sedih karena anggrek sudah jarang dijumpai dan ingin anggrek kembali lagi hidup di habitatnya.
Pertemuan dengan seorang peniliti yang melakukan riset soal anggrek Sulistyono, mengubah Musimin. Selama tiga bulan pasca erupsi Merapi 2010, Musimin ikut melakukan pendataan habitat anggrek di hutan Merapi.
Dari Sulistyono, Musimin belajar banyak tentang anggrek. Mulai dari nama-nama latinnya sampai cara pengembangbiakan di habitatnya. Pada saat pendapatan di tahun 2011, ia mendapati kenyataan bahwa spesies anggrek banyak yang berkurang lantaran erupsi Merapi.
Kala itu hanya ditemukan sekitar 50-an spesies anggrek yang masih ada. Padahal sebelum erupsi 2010, ada sekitar 90-an spesies yang hidup di lereng Merapi.
“Pada saat pendataan kami hanya menemukan sekitar 53 spesies anggrek,” kata Musiman.
Dari pendataan itulah Musimin mulai mengenal spesies anggrek beserta nama latinnya. Seperti Vanda Tricolo untuk Anggrek Pandan, Denrobium Sagitatum untuk Anggrek Gergaji atau Anggrek Keris, Eria Retusa untuk Anggrek Gurem, Aerides Odoratus atau Anggrek Kolojengking.
Termasuk, Coelogyne Speciosa untuk Anggrek Kuu, Paphiophedilum Javanicum untuk Anggrek Lorek dan Arundin Graminifolia untuk Anggrek Bambu atau Anggrek Sempritan. Musimin banyak belajar jenis anggrek dan cara tanaman spesies tersebut bertahan.
Seiring berjalannya waktu, Musimin yang mendapat ilmu dan pengalaman berharga mulai rajin membudidayakan dan menangkap anggrek di halaman depan rumahnya. Dari 50-an anggrek yang berhasil didata pada 2011, kini Musimin telah berhasil menambah koleksi dan mengumpulkan sekitar 170 spesies anggrek.
Di halaman rumahnya yang berjarak 6 kilometer dari puncak Gunung Merapi, terdapat rumah kaca berukuran sekitar 6×15 meter sebagai tempat penangkaran anggrek. Di dalamnya juga terdapat Vanda Tricolo, jenis anggrek asli Merapi yang begitu terkenal di kalangan pecinta anggrek.
Hingga kini Musimin mempunyai sebuah prinsip yang sangat dipegangnya. Ia sangat menentang tindakan mengambil anggrek dari habitat di hutan lalu di jual. Menurutnya, hal itu sebagai sebuah pengkhianatan kepada generasi anak-cucu mendatang.
“Anggrek-anggrek itu adalah kekayaan alam untuk generasi mendatang. Itu untuk pembelajaran dan untuk kelestarian alam,” terangnya.
Musimin juga memiliki sebuah mimpi yang belum terwujud. Yakni, adanya sebuah museum hidup yang menyimpan berbagai spesies anggrek Merapi di habitatnya. Bukan di tengah kota atau pinggiran desa, melainkan museum yang terletak di hutan sehingga kelestarian alam tersebut tetap terjaga.
“Saya berkeinginan entah kapan bisa terwujud itu ada Musem Hidup Anggrek Merapi yang masuk di wilayah TNGM,” ungkapnya.
Lokasi adopsi anggreknya tersebut, disebut Musimin sebagai tempat yang sesuai sebagai museum karena terdapat inang dan habitat ekosistem hujan yang masih terjaga.
Terlebih tempat itu selalu terhindar dari bahaya peristiwa Merapi. Apalagi Musimin menyaksikan sendiri bahwa tempat yang diimpikan menjadi Mueum Hdup Anggrek Merapi selalu terhindar dari bencana erupsi Merapi dan terhindar dari lahar dan awan panas.
“Dari tempat itu akan menjadi tempat pembelajaran bahwa konservasi bisa dijalankan secara insitu dan eksitu yang diupayakan antara masyarakat dan pemangku kepentingan (TNGM),” pungkas Musimin.