LITERAKSI.COM–Tingkah laku manusia modern saat ini memang memilukan. Orang-orang demikian sibuk dengan pekerjaan, penghasilan, saldo. Manusia memperkosa waktu demi memanjat karier dan kekuasaan. Sebab, takaran kesuksesan hari ini hanya terletak pada angka-angka dan kemewahan duniawi, yang akhirnya memaksa manusia untuk menjadi budak bagi diri, perut dan birahi.
Pada tulisan ini, saya ingin mengulas bagaimana kepiawaian Kang Edi AH Iyubenu, memberikan penyadaran pada kami tentang kemanusiaan melalui buku Cerita Pilu Manusia kekinian. Tebal buku ini 264 halaman dan diterbitkan kali pertama tahun 2016.
Kata Edi, di antara kekejian modernisme-rasionalisme ialah menjadikan manusia memandang hidup sukses sebagai saldo, target, strategi dan untung sebanyak-banyaknya.
“Semuanya diteropong melalui angka kalkulator: apakah menguntungkan: apakah membutuhkan: dan apakah efisien?,” begitulah yang dia tulis.
Bung Edi, dengan rasa cintanya terhadap manusia, seakan ingin menampar manusia kekinian dengan kelembutan. Dengan bahasa yang ringan, bahasa keseharian kita, semua cerita dalam buku ini memberi ruang permenungan bagi diri, yang ujungnya pembaca dipaksa sepakat untuk menyelami kembali hakikat kemanusiaan.
Setelah mendapatkan uang banyak, nyatanya banyak manusia yang tidak bahagia. Karena ternyata, kebahagiaan tidak semua berasal dari materi. Kebahagiana itu ada pada dimensi jiwa, dimensi spiritual dan diri kita sendiri yang harus mengolahnya.
Buku ini mengajak para pembaca untuk sejenak menyingkir dari kesibukan dunia dengan menanggalkan semua belepot dunia demi memberi ruang murni dimensi yang lain agar tetap hidup di hati manusia.
Menampar kebebalan pikiran kita yang terlalu ‘riuh’ dalam gemerlap dunia. Merenungi kembali jalan ‘pulang’ dengan membawa bekal kerinduan-ketenangan. Sebab, kesadaran diri sejatinya hanya akan muncul jika manusia berada pada titik hening.
“Tanpa itu semua, manusia akan tenggelam dan mati secara spiritual sebelum kematin secara klinisnya (wafat),”
Manusia modern yang mengesampingkan nilai-nilai kemanusiaan seperti tradisi dan agama, pada detik itu pula sebenarnya dia telah gagal menjadi manusia utuh. Bahkan di antara kejayaan-kejayaanya.
“Adakah yang lebih pilu dari kepiluan gagal menjadi manusia dengan segenap jiwanya?,” tanya Edi, yang dimuat di halaman 162.
Hidup ini sungguh tak cukup untuk ditakar dengan kacamata buram modernisme yang berkecenderungan menolak segala yang tidak memberikan keuntungan teknis. Materialisme-logika tidaklah memadahi untuk sepenuhnya menjangkau dimensi jiwa. Cara yang paling ampuh untuk menolak itu, adalah dengan membangun lagi puing-puing keruntuhan jiwa. Petuah tentang moral, petitih laku dan tradisi leluhur yang sempat ‘padam’ harus dihidupkan kembali.
Penulis buku ini rasanya amat mengerti bahwa hakikat kemanusiaan zaman modern sudah mulai ‘redup’ karena manusia jauh dari permenungan. Terlalu sibuk dikejar-kejar materi. Pada dasarnya, buku ini mengajak pembaca untuk menyelami kembali hakikat kemanusiaan. Karena tiada yang lebih berharga dan asali selain berjuang untuk menjadi manusia, atau setidaknya menyadari bahwa tubuh ini adalah manusia.
Buku ini menurutku bagus, mengingatkan kami untuk kembali menjadi manusia. Seperti yang diajarkan multatuli “tugas manusia adalah menjadi manusia,” karena hakikat kemanusiaan zaman sekarang sudah mulai redup, manusia jauh dari ruang permenungan.
Akhirnya, buku ini memang sangat layak untuk dibaca semua kalangan, terutama bagi mereka yang merindu ketenangan. Lebih khususnya manusia kekinian. Yaitu manusia yang hidup dizaman saat ini, termasuk kita.
Judul : Cerita Pilu Manusia kekinian
Penulis : Edi AH Iyubenu
Penerbit : IRCiSoD
Cetakan : Pertama, Februari 2016
Tebal : 264 Halaman
ISBN : 978-602-0806-71-6