Menulis Aksi, Menggerakkan Literasi

Mengenal Resan Gunungkidul, Komunitas yang ‘Bersujud’ untuk Alam Cegah Bencana Kekeringan


Warning: Attempt to read property "post_excerpt" on null in /home/u1604943/public_html/literaksi.com/wp-content/themes/wpberita/template-parts/content-single.php on line 98

Literaksi.com – Petikan gitar siang itu membuyarkan sedikit kesunyian di sekitar pohon besar. Lagu berupa pujian-pujian alam serta doa berbalut lirik sakral menambah intim sebuah ritual yang dilakukan sejumlah orang berkostum adat Jawa itu.

Randu Alas yang tingginya lebih dari 10 meter ini dikelilingi oleh masyarakat termasuk warga di Dusun Sumberan, Kalurahan Kenteng, Kapanewon Ponjong, Kabupaten Gunungkidul, Rabu (6/7/2022).

Sembari musik dinyanyikan, aktivitas berlanjut dengan membakar dupa di bawah akar pohon besar. Tujuh orang berpakaian adat duduk bersila di antara beton dan talut yang ada di bawah akar pohon. Nampak jelas, dupa-dupa itu diletakkan di sebelah genangan air kecil yang sesekali mengeluarkan mata air.

Lebih kurang 15 menit berdoa di bawah pohon, orang-orang tersebut berpindah dan mengambil sebuah kain mori panjang. Secara hati-hati, mereka mengelilingi pohon sembari membungkusnya dengan kain tersebut melawan arah jarum jam.

Aktivitas yang dinamai melangse –dari kata langse— ini adalah satu rangkaian yang dilakukan komunitas konservasi Resan Gunungkidul untuk menghormati alam, utamanya pohon.

Bukan tanpa alasan Resan Gunungkidul bersusah-susah mengenakan pakaian Jawa saat menggelar ritual bakar dupa hingga membelitkan kain mori ke batang pohon tersebut. Bagi mereka, mencintai alam adalah tugas manusia untuk mempertahankan makhluk hidup di tengah abainya manusia terhadap tanaman.

“Alam ini kan ibu kita, tentu kita (manusia) sepatutnya ya mencintai dan menghormati mereka. Kita dilahirkan (oleh ibu) tentu kita yang harus menjaga mereka,” ujar inisiator Resan Gunungkidul, Edi Supadmo sambil memadukan filosofi alam sebagai rahim seorang ibu.

Resan Gunungkidul bisa dikatakan sebuah kumpulan orang-orang yang mendedikasikan diri untuk keberlangsungan alam sekitarnya. Terdiri dari berbagai anggota dengan latar belakang yang berbeda-beda, namun satu tujuannya. Melestarikan ‘ibu’ mereka.

Nama Resan sendiri, berasal dari bahasa Jawa Kawi yaitu reksa yang artinya menjaga, dan wreksa yaitu pohon besar. Resan lebih fokus memperhatikan pohon-pohon yang merupakan bagian alam di dunia.

Condong ke pohon adalah alasan Resan, bahwa tumbuhan ini salah satu entitas penjaga mata air, penjaga tanah termasuk juga penjaga kehidupan makhluk hidup.

Seluruh pohon menjadi pilihan Resan Gunungkidul, namun ada kriteria yang dipilih lebih dominan, yakni pohon yang mampu menyimpan bahkan memunculkan mata air untuk keberlangsungan hidup makhluk Tuhan.

Memiliki cara sendiri yakni dengan ritual melangse, Resan Gunungkidul kerap mengakhiri aktivitas mereka dengan menanam pohon. Mulai dari jenis Beringin, Randu Alas, Gandhok, Trembesi, Jambu Alas, Gayam hingga Pohon Asem.

Tak hanya bertujuan untuk menanam dan menambah kuantitas pohon, Resan ingin mengembalikan relasi manusia dengan alam yaitu pohon untuk tatanan ekosistem yang lebih stabil.

“Sering saya katakan, menanam itu kan budaya manusia yang paling tua. Manusia itu hidup dari segala hal yang tumbuh dari bumi. Termasuk dengan banyak mitos yang berawal dan hidup dari pohon. Dan pohon adalah saudara tua orang-orang,” terangnya.

Dituding Penyembah Pohon

Berdiri sejak 2018, Resan Gunungkidul telah merangkul banyak anggota hingga di tahun keempatnya ini. Memiliki cara yang lain untuk menjaga alam dengan mengasimilasi ritual dan kearifan lokal, tak jarang Resan dianggap musyrik hingga kerap dituding penyembah pohon.

Bagi Edi, hal ini tak mau diambil pusing. Meski pernyataan yang muncul di masyarakat cukup liar, ia membiarkan isu itu menjadi pembahasan orang-orang.

Ia masih meyakini bahwa aktivitasnya, memang untuk merawat alam dengan cara-cara kearifan lokal.

Sejumlah anggota Resan Gunungkidul melakukan ritual bakar dupa di sebuah pohon besar di Kapanewon Ponjong, Kabupaten Gunungkidul, Rabu (6/7/2022). [Literaksi/Ahmad Muhammad]
Meski mendapat tudingan hingga disebut ‘bersujud’ untuk alam, tak sedikit anggota komunitas ini mendapat ketenangan dan banyak pelajaran di dalamnya. Edi melihat ada nilai lebih dari hanya sekedar menanam pohon hingga merawatnya hingga menjadi besar.

“Latar belakang kita berbeda. Ada yang memang mendedikasikan untuk tanaman. Ada yang memiliki tujuan lain. Tapi di sini saya juga belajar keikhlasan. Pohon tidak merasakan manfaatnya sendiri. Tapi dia memberikan banyak manfaat ke makhluk hidup. Artinya, seluas apa ikhlas yang dimiliki pohon selama ini?,” ujar dia.

Bukan hanya Edi, anggota Resan Gunungkidul lainnya, Abimanyu, juga mendapat banyak pelajaran dari pohon selama di Resan.

Mahasiswa ISI Jogja semester 3 itu mendapatkan nilai luhur dari filosofi alam, bagaimana alam ini ada untuk manusia tanpa banyak berbalas pinta.

“Banyak sekali yang saya dapatkan selama bergabung di sini. Melihat perspektif lain dari tanaman yang dia tak banyak bicara tapi memberikan banyak hal kepada manusia. Nah, sayangnya manusia sendiri yang tidak bermanfaat untuk alam,” keluh dia.

Cegah Kekeringan

Gunungkidul merupakan kabupaten di DIY yang tiap tahunnya mengalami persoalan klasik, yakni kekeringan. Menurut Edi, Bumi Handayani sejatinya tak akan melulu berhadapan dengan bencana tersebut jika memang sejak awal pohon dan mata air dijaga dengan cara-cara yang arif.

Gunungkidul sendiri, kata pria yang pernah bertugas di salah satu televisi nasional ini menyebut bahwa Gunungkidul terbagi ke-3 zona topografi. Pertama Zona Batur Agung utara yang banyak menyimpan banyak mata air yaitu sendhang dan tuk.

Kedua, Zona Ledhoksari tengah yang didomnasi oleh batu kapur. Memang potensi kekeringan kerap terjadi di sini tetapi masih sering ditemui mata air.

Ketiga, adalah Zona Gunung Sewu selatan yang berdekatan dengan laut. Zona ini banyak ditemukan sungai bawah tanah termasuk telaga di wilayah tersebut.

Anggota Resan Gunungkidul menanam bibit pohon usai melangse di Kapanewon Ponjong, Kabupaten Gunungkidul, Rabu (6/7/2022). [Literaksi/Ahmad Muhammad]
Tak jarang saat ‘bergerilya’ Edi menemukan tuk yang akhirnya dijadikan tempat sampah.

Menurut Edi, munculnya tuk, mata air atau sendhang tak lepas dari peran akar tanaman. Pohon besar yang memiliki peran menyimpan air lewat akarnya juga secara alamiah mencari keberadaan air tanah.

“Ketika kearifan lokal dalam menjaga pohon itu masih diaplikasikan betul termasuk merawat sumber air dan pohon, air atau mata air itu tentu masih berfungsi. Karena munculnya PDAM yang dimudahkan dengan hanya memutar keran, mereka lupa dengan (manfaat) pohon,” katanya.

Berbicara teknologi, cara Resan sendiri sangat jauh dari kata mudah. Pasalnya harus ada proses lama hingga pohon itu membesar dan mencari kumpulan air. Namun cara-cara ini bukan hanya soal air untuk kehidupan, tetapi untuk kehidupan jangka panjang, yaitu nasib anak cucu manusia.

Meski tak bisa memastikan persoalan kekeringan akan selesai di Bumi Handayani, Resan berharap langkah konkret ini memantik masyarakat untuk mau saling menjaga.

Resan Gunungkidul merupakan komunitas yang mengajak manusia untuk kembali ‘berkiblat’ dengan alam. Sesuai pelajaran IPA di bangku sekolah terhadap konsep simbiosis. Setidaknya, mereka menjadi mutualisme untuk sama-sama menjaga dan hidup untuk saling bermanfaat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *