Literaksi.com – Kanker menempati posisi kedua sebagai penyebab kematian di dunia.
Sejumlah 9,6 juta manusia meninggal akibat kanker tiap tahunnya. Diperkirakan, 70 persen kematian akibat kanker terjadi di negara berkembang, termasuk Indonesia.
Kasus baru kanker di Indonesia mencapai angka 396.914 kasus, dengan angka kematian mencapai 234.511 orang.
Sebagai upaya menyebarluaskan dan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang kanker, lahirlah perayaan Hari Kanker Sedunia. Tanggal 4 Februari ditetapkan sebagai peringatan Hari Kanker Sedunia.
Pertama kali dicetuskan pada tahun 2000, bertepatan dengan acara World Summit Against Cancer for the New Millennium yang diselenggarakan di Paris.
Acara yang membahas penelitian, pencegahan, peningkatan layanan dan kesadaran tentang kanker tersebut diprakarsai oleh Union for International Cancer Control (UICC). Sebuah organisasi kanker internasional terbesar dan tertua.
Organisasi yang berdedikasi memimpin pertemuan, pengembangan kapasitas, dan menginisiasi advokasi dengan menyatukan komunitas kanker dari seluruh untuk mengurangi beban kanker global.
Penetapan Hari Kanker Sedunia dituangkan dalam Charter of Paris against Cancer (Piagam Paris Melawan Kanker). Piagam ditandatangani oleh Presiden Prancis yang menjabat kala itu, Jacques Chirac. Juga Direktur Jenderal UNESCO Koichiro Matsuura.
Kampanye Hari Kanker Sedunia pada tahun 2022-2024 mengangkat satu tema yang sama, yakni ‘Close the Care Gap’. Artinya mengupayakan pemerataan penanganan kasus kanker dengan meminimalisir berbagai kesenjangan yang ada.
Masyarakat pasien kanker masih mengalami berbagai kendala d bidang ekonomi, tingkat pendidikan dan pengetahuan, lokasi geografis, dan diskriminasi berbasis suku, ras, agama.
Dilansir dari laman worldcancrday.org, Sabtu (4/2/2023) penderita kanker berjenis kelamin perempuan, baik usia dewasa maupun remaja kerap mendapat deskriminasi berbasis gender.
Kanker serviks dan payudara yang kerap terjadi justru kurang dapat dikenali oleh pengidapnya, sebab kurangnya dukungan keluarga dalam mengikuti tes kesehatan rutin di faskes terdekat, juga minimnya akses ke pengetahuan terkait kanker.
Kesadaran perempuan akan resiko kanker perlu ditingkatkan, sehingga deteksi dini dapat dilakukan. Mencegah kanker berkembang lebih lanjut lebih baik daripada pasien baru menyadari kanker saat di stadium akhir.
Laki-laki juga masih menganggap tabu dalam mendiskusikan kondisi kesehatan tubuh. Seperti membahas kanker prostat, laki-laki cenderung enggan terlihat lemah. Dalam hal ini, lemah dari segi seksualitas. Sebab kanker jenis ini lekat dengan impotensi.
Kemiskinan masih membayangi penangana kasus kanker. Pendapaan rendah, kurangnya akses kesehatan, nutrisi tubuh kurang diperhatikan, hingga kesenjangan budaya dan bahasa tutur membuat pasien kanker dari keluarga pra-sejahtera musti berjuang dengan upaya ekstra.
Akses geografis layanan kesehatan turut berpengaruh dalam penanganan kanker. Masyarakat dari daerah dengan konflik atau pasca-konflik kerap kehilangan fasilitas layanan kesehatan, sebagai dampak dari konflik. Baik fasilitas egdung fisik maupun tenaga kerja yang tersedia.
Pasien kanker yang sebagian besar berusia di atas 65 tahun kerap mengalami keterlambatan penanganan.
Pasien kanker payudara perempuan muda lebih diutamakan mendapatkan fasilitas kemoterapi dibandingkan pasien perempuan berusia lanjut.
“Lebih dari 70 persen kasus kematian akibat kanker prostat terjadi pada laki-laki berusia lebih dari 75 tahun,” tulis worldcancerday.org. (Literaksi/Handayani)