LITERAKSI.COM– Merti Desa Mbah Bregas di Balai Ringin, Padukuhan Ngino, Kalurahan Margoagung, Seyegan, Kabupaten Sleman pada Jumat (3/6) sore menyedot animo masyarakat. Mereka tumpah ruah membanjiri seputar Balai Ringin mengikuti upacara adat tahunan. Setelah prosesi acara, warga saling berebut gunungan hasil bumi yang dipercaya dapat membawa keberkahan.
Lurah Margoagung, Djarwo Suharto mengatakan, merti desa Mbah Bregas merupakan kegiatan rutin. Namun, sempat vakum selama dua tahun pandemi covid-19. Kini dengan aturan yang telah diperlonggar kegiatan tersebut akhirnya bisa kembali digelar. Menurut dia, hampir seluruh warga Margoagung menghendaki digelarnya upacara adat ini karena berkaitan dengan leluhur mereka. Dengan harapan, bisa menjembatani komunikasi seluruh elemen masyarakat.
“Muaranya adalah guyub dan rukun. Selain itu, sebagai wujud syukur kepada Tuhan,” kata dia.
Merti Desa Mbah Bregas dimaknai sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan. Menurut Djarwo, mayoritas warga Margoagung adalah petani. Mereka bersyukur karena telah diberikan tanah yang subur dan hasil alam yang melimpah. Disamping itu, untuk mengenang jasa leluhur.
Pelaksanaan Merti Desa digelar selama tiga hari tiga malam. Kegiatan diawali dengan Pentas Kobro dan Pengajian Akbar. Dilanjutkan pentas seni Jathilan, Karawitan dan pengambilan air suci di sendang Planangan. Lalu puncak acaranya adalah kirab budaya yang menampilkan 15 bregodo dari 12 dusun di Kalurahan Margoagung. Kirab ini berkeliling dari halaman Kalurahan Margoagung menuju Balai Ringin di Padukuhan Ngino, dengan membawa gunungan hasil bumi. Segenap masyarakat hadir. Prosesi kirab dimeriahkan dengan ogoh-ogoh besar berwarna hitam. Warga tumpah ruah. Bergembira.
“Acara (Merti Desa) ditutup dengan wayangan,” kata Djarwo.
Bupati Sleman, Kustini Sri Purnomo yang hadir dalam kegiatan tersebut mengapresiasi dan menyambut baik upacara adat yang terus dilestarikan di Kalurahan Margoagung. Menurut dia, Merti Desa Mbah Bergas merupakan upaya untuk melestarikan budaya dan warisan leluhur. Karenanya, Ia mengajak masyarakat untuk bersama-sama merawat upacara adat tersebut dengan makna yang baik.
“Sebagai wujud syukur dan kecintaan terhadap Tuhan atas anugerah kesuburan tanah dan hasil alam yang melimpah,” kata dia.