Literaksi.com – Twitter merupakan salah satu paltform yang terus berkembang mengikuti para pengguna dengan latar belakang yang beranekaragam. Menjadi tempat untuk mengunggah kegundahan, bahkan opini setiap orang menjadi kebebasan berekspresi bagi setiap penggunanya.
Namun, Twitter saat ini seakan tak ada filter untuk mengunggah pemikiran bahkan keburukan yang dianggap benar. Tak jarang di Twitter kita menemukan salah satu kubu yang berupaya menjatuhkan kubu dengan thread atau utas yang ada dalam fitur si Burung Biru tersebut.
Di Indonesia sendiri, platform seperti ini menjadi pilihan sebagain netizen untuk menyebar pemikirannya. Apalagi dalam 2 tahun ke depan, Pemilu 2024 menjadi agenda terbesar untuk mendukung, atau bahkan menghardik orang yang tak sejalan dengan pemikiran mereka.
Berikut Literaksi.com menjabarkan potensi pergolakan politik di Indonesia mendekati Pemilu di platform Twitter. Dimana Elon Musk yang bernafsu membeli si Burung Biru untuk bebas mencuit pemikirannya tanpa memberikan filter yang tentu saja ikut dimanfaatkan para penggunanya.
Alasan Elon Musk akuisisi Twitter
Elon Musk pertama kali menyatakan akan mengakuisisi Twitter beberapa bulan lalu. Dalam hal tersebut kekhawatiran pun muncul bahwa ujaran kebencian dalam media sosial platform mikroblog itu bakal merebak kembali.
Musk menginginkan tak pelu ada pembatasan untuk kebebasan berbicara, sekalipun itu memuat ujaran kebencian. Musk berujar dia akan mejadi pembela kebebasan berbicara secara absolut.
Kebebasan berbicara secara absolut berakar dari pemikiran abad ke-17, namun baru menjadi pemikiran khusus setelah dikenalkan oleh filsuf kebebasan berbicara abad ke-20, Alexander Meiklejohn.
Meiklejohn menyatakan sebuah bangsa dianggap mandiri jika rakyatnya bisa mengekspresikan diri secara bebas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan pemerintahan tanpa dibatasi oleh aturan negara.
Sebagai pengguna berat Twitter, Musk ingin filosofi Meiklejohn itu mengalir di Twitter. Musk yang merasa tak selamanya disanjung oleh media arus utama, membutuhkan tempat yang lebih bebas untuk dirinya mengekspresikan apa pun sekehendak hatinya.
Banyak yang beranggapan Musk awalnya tidak serius mengakuisisi Twitter. Pria 51 tahun ini dianggap emosi belaka karena terusik oleh aturan internal Twitter mengenai bagaimana menyampaikan pesan di Twitter. Keadaan bisa jadi menjadi cikal bakal Musk berpikiran “mengapa tidak sekalian saja saya akuisisi”.
Namun, setelah posisi maju mundurnya dalam akuisisi Twitter membuat harga saham perusahaan media sosial ini bergolak sehingga memancing otoritas pasar modal dan pengadilan Amerika Serikat turun tangan, akuisisi Twitter pun terwujud. Musk ingin menghindari peradilan atas maju mundurnya proses akuisisi Twitter.
Lagi pula bagi dia, harga 44 miliar dolar AS (Rp687 triliun) untuk membeli Twitter tak seharga jika dibandingkan dengan total kekayaannya yang mencapai 223 miliar dolar AS (Rp3.484 triliun).
Usai Musk tuntas membeli Twitter, dunia serempak jatuh khawatir, meski sebagian lainnya menyambut gembira kabar ini bahwa si burung biru telah dimiliki oleh orang yang seharusnya memilikinya.
Begitu rampung membeli Twitter pada 27 Oktober 2022, Musk langsung mencuit, “si burung telah dibebaskan”.
Tak berapa lama, komisioner pasar internal Uni Eropa, Thierry Breton, bahkan tak ingin tinggal diam dengan cuitan Musk. Ia membalas bahwa “di Eropa, si burung’ harus terbang berdasarkan regulasi kami.”
Ucapan Breton itu merujuk kepada undang-undang Uni Eropa bernama Digital Services Act yang di antaranya memuat ketentuan yang mengharuskan situs media sosial menghapus konten-konten ilegal seperti ujaran kebencian.
Regulasi-regulasi semacam Digital Service Act ini sangat tidak disukai oleh Musk, seperti dia tak menyukai manajemen Twitter yang dianggap tunduk kepada tekanan eksternal dengan membuat moderasi pesan.
Musk tak menginginkan itu semua karena menurut dia, tak peduli pesan tersebut bohong atau tidak, atau benar atau tidak, semuanya harus dilayani Twitter, demi kebebasan berbicara yang menurutnya tak berbatas.
Tak ingin disenggol untuk berkicau tanpa menengok kebencian apa yang dilontarkannya, langkah pertamanya usai mengakuisisi Twitter, Musk memecat para pembesar Twitter yang disanjung dunia sebagai pendekar digital yang membuat Twitter tak kebablasan sehingga tak menjadi wahana untuk menyebarluaskan kebencian, disinformasi, dan hasutan.
Sambil membawa kloset yang menggambarkan upaya bersih-bersih totalnya dalam manajemen Twitter, Musk memecat Kepala Eksekutif Parag Agarwal, Chief Financial Officer Ned Segal, General Counsel Sean Edgett yang mengetuai bagian legal Twitter, dan Kepala Kebijakan Hukum dan Keamanan Vijaya Gadde.
Tetapi langkahnya ini membuat dunia semakin khawatir bahwa Twitter akan terbang bebas menyebarluaskan pesan-pesan kebencian dan informasi-informasi yang melecehkan fakta serta kebenaran.
Padahal pakar-pakar komunikasi di Barat sendiri menegaskan bahwa kebebasan berbicara tidak pernah absolut.
Mereka menyatakan kebebasan berbicara tetap membutuhkan aturan dan regulasi agar orang tak menyalahgunakan kebebasan berbicara untuk menyebarkan kebencian dan perundungan yang merusak hak orang lain. Apalagi sulit sekali menjaga lalu lintas pesan dalam media sosial.
Situs-situs media sosial seperti Instagram dan Facebook saja tetap kesulitan menapis disinformasi, hoaks, dan ujaran kebencian, padahal mereka sudah memagari dirinya dengan aturan mengenai apa yang boleh dan tak boleh di-posting penggunanya.
Berbeda dengan Musk, baginya masyarakat memiliki hal untuk menentukan benar tidaknya informasi. Jadi proses seleksi pesan kepada masyarakat biarlah masyarakat yang menentukan. Untuk itu, tak perlu ada moderasi dan tak perlu tunduk kepada hukum negara.
Tetapi situasi seperti itu hanya berlaku di Amerika Serikat yang memang sangat memuja kebebasan berbicara.
Di bagian-bagian dunia lainnya, misal Timur Tengah bahkan Eropa, kebebasan berbicara tetap memerlukan batas atau paling tidak tata krama dan norma.
Mungkin saja Musk sudah menguasai istilah dalam jurnalisme “bad news is good news”. Dimana pembaca akan lebih tertarik dengan berita yang buruk. Parahnya, dalam media sosial pun pesan-pesan kontroversial tak berdasarkan fakta, lebih disukai dan lebih disebarluaskan oleh penggunanya.
Dan itu dibenarkan oleh banyak studi ilmiah, salah satunya hasil penelitian Massachusetts Institute of Technology (MIT) pada 2018 yang menyimpulkan pesan negatif termasuk ujaran kebencian, 70 persen lebih sering dicuit ulang oleh pengguna Twitter dari pada pesan positif.
Ironisnya Musk sendiri termasuk orang yang getol menyampaikan kabar-kabar tidak jelas nan bohong. Tapi mungkin Musk kesulitan membedakan antara menyebarkan kebohongan dengan berlelucon atau prank.
Contohnya dia pernah mencuit akan membeli Manchester United, persis ketika klub sepak bola Liga Inggris itu tengah dalam puncak kekalutannya.
Dia mengulangi lelucon tak lucu itu sampai kini, termasuk tak lama setelah mengakuisisi Twitter, dengan mengunggah tautan hoaks mengenai Paul Pelosi.
Untuk diketahui Paul Pelosi adalah suami Ketua DPR Amerika Serikat, Nancy Pelosi. Rumahnya pernah dijarah seseorang yang hendak melukai Nancy yang saat itu tak berada di rumah.
Polisi memastikan peristiwa ini sebagai aksi kriminal, tetapi sebuah media berspekulasi tanpa disertai bukti bahwa Paul merekayasa peristiwa itu. Tautan berita dalam media itu dicuit ulang Elon Musk baru-baru ini ketika membalas debat digital via Twitter yang melibatkan mantan menteri luar negeri Hillary Clinton.
Padahal Musk tahu pasti kabar bohong itu menyakitkan, apalagi Musk, seperti kebanyakan orang berkuasa, sebenarnya tak tahan kritik.
Oleh karena itu, seperti Donald Trump, dia tak percaya kepada media massa arus utama yang kerap mengkritiknya. Dia sebenarnya tak suka dikritik.
Dia lalu menemukan Twitter sebagai media untuk mengungkapkan apa pun kebenaran menurut versinya, tak peduli itu disinformasi atau hoaks. Semua label negatif ini sudah melekat kepada Musk.
CEO SpaceX dan Tesla ini berusaha melepaskan label itu dan menepis anggapan akan membiarkan Twitter terjun bebas tanpa aturan.
Dia pun berjanji membentuk “dewan moderasi konten” dan menarik bayaran untuk akun-akun terverifikasi, dengan alasan tak ingin menggantungkan diri kepada pemasukan dari pengiklan.
Namun dia kadung mendapat predikat orang yang terlalu toleran kepada semua pesan, termasuk ujaran kebencian dan disinformasi. Akibatnya, pengiklan-pengiklan besar seperti General Motors pun menghentikan sementara kerja samanya dengan Twitter.
Wadah buzzer ciptakan ledakan ujaran kebencian
Timur Tengah bahkan Eropa yang masih menaruh norma dan tata krama dalam komunikasi, mulai tergiur dengan “fitur” yang ditawarkan Musk di Twitter. Tanpa filter, semua hal yang sesuai pemikiran orang akan ditumpahkan di sarang burung ini.
Indonesia sendiri yang sebentar lagi akan menggelar pesta demokrasi rakyat pada 2024, sudah banyak terlihat gerilya kecil dari timses hingga akun-akun pendukung sejumlah calon kandidat.
Besar kemungkinan Twitter menjadi salah satu media sosial yang digunakan untuk menyebarkan, bahkan mengubah opini masyarakat yang terlanjur mudah digoyang-goyang.
Buzzer seakan mendapat indahnya kicauan Twitter untuk beringas dalam menyebarkan pemikiran bahkan memutarbalikkan fakta yang ada dalam perjalanan Pemilu 2 tahun mendatang.
Potensi ujaran kebencian akan semakin terfasilitasi oleh platform ini. Entah diamini atau tidak, untuk kadar literasi masyarakat Indonesia yang ada di peringkat 62 dari 70 negara (Survei yang dilakukan Program for International Student Assessment [PISA] yang dirilis Organization for Economic Co-Operation and Development tahun 2019), maka semakin mudah mereka menelan informasi secara mentah-mentah.
Memang Twitter memiliki aset yang cukup besar yang jarang dimiliki oleh platform lain. Seperti jurnalis, sastrawan, tokoh politik hingga selebritis yang bisa menjadi pagar dalam menekan hoaks dan opini yang salah.
Namun tak ada yang bisa memastikan untuk tetap konsisten membendung fenomena tersebut, mengingat pada 2019, intrik dari ujaran kebencian di Facebook dan Twitter mulai terlihat marak. Artinya, pada 2024, hal itu akan semakin membabi-buta.
Jika Indonesia masih ingin menjaga marwah dan slogan Kebhinekaan Tunggal Ika yang kerap kita dengar sejak SD, perlu peran bersama. Menggantungkan harapan kepada pemerintah rasanya mustahil, namun mengutip dari penulis serta sastrawan Herbertus Felix Darmawan, “selama kemauan untuk berubah dan menggiring manusia dalam jalan yang benar, akan ada tangan Tuhan yang ikut berperan”.