Literaksi.com – Persoalan penggunaan jilbab di ranah pendidikan tengah menjadi sorotan beberapa hari terakhir di DI Yogyakarta. Tepatnya di SMAN 1 Banguntapan, Kapanewon Bantul hingga menyebabkan satu siswi depresi.
Persoalan tersebut mencuat sejak 31 Juli 2022 yang dikeluarkan oleh Ombudsman RI (ORI) perwakilan DIY. Siswi yang masih duduk di bangku kelas 10 sempat dipanggil guru Bimbingan Konseling (BK) saat menjalani Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS).
Berikut duduk polemik hingga fakta yang sudah Literaksi.com ulas terkait persoalan jilbab hingga empat guru termasuk kepala sekolah dinonaktifkan.
Siswi menangis satu jam di toilet sekolah
Berdasarkan penuturan pendamping siswi SMAN 1 Banguntapan, Yuliani, siswi yang hingga kini masih dijaga identitasnya mengalami hal tersebut pada 20 Juli 2022 saat MPLS di sekolahnya.
Guru BK di sekolah setempat memanggil siswi dan diinterogasi oleh tiga orang. Dalam proses menanyai alasan siswi tak menggunakan jilbab, guru juga memberikan contoh dengan memakaikan jilbab ke siswi tersebut.
“Terus dari situ dia diinterogasi lama dan merasa dipojokkan. Terus yang kedua dia pakaikan hijab. Dia juga paham mungkin dia nyontohin pakai hijab tapi anak ini merasa tidak nyaman. Jadi merasa dipaksa,” sebut Yuliani.
Merasa ada pemaksaan yang dilakukan oleh para guru, siswi tersebut meninggalkan jam pelajaran sekolah dan mengurung diri di toilet selama satu jam. Tetapi peristiwa mengurung diri di toilet dia lakukan setelah enam hari MPLS disekolahnya berjalan.
Sekolah berlakukan aturan penggunaan atribut keagamaan
ORI DIY menemukan bahwa dalam pedoman penggunaan seragam di SMAN 1 Banguntapan, penggunaan atribut keagamaan itu dianjurkan setiap hari.
Disebutkan, penggunaan atribut itu dikenakan baik seragam OSIS, batik dan pramuka. Dari panduan itu juga disebutkan jilbab, rok serta berbaju harus lengan panjang.
“Jadi semua hari pakai jilbab dan di sini judulnya panduan seragam SMAN 1 Banguntapan, dan tidak ada kata-kata muslimahnya,” kata Ketua ORI DIY, Budhi Masturi.
Padahal jika sesuai Permendikbud Nomor 45/2014 tentang Pakaian Seragam Sekolah Bagi Peserta Didik Jenjang Pendidikan Dasar Dan Menengah, tertulis bahwa tidak semua model atau jenis seragam siswa SMA Negeri perlu disertai beberapa atribut keagamaan.
Bantah memaksa siswi, namun hanya mencontohkan berjilbab
Polemik soal dugaan pemaksaan pemakaian jilbab itu dibantah oleh Kepala Sekolah SMAN 1 Banguntapan, Agung Istianto. Menurutnya siswi berusia 16 tahun itu tidak dipaksa, hanya saja dicontohkan oleh guru.
“Pada intinya sekolah kami tidak seperti yang diberitakan, sekolah kami tidak mewajibkan (pemakaian jilbab). Tuduhannya salah karena tidak seperti itu masalahnya karena sekolah negeri kan tidak boleh (memaksa),” kata Agung.
Guru BK tidak ada niatan untuk memaksa hanya mencoba membimbing. Munculnya narasi para guru berkata kasar ke siswi, Agung juga tak membenarkan hal tersebut.
Orang tua siswi minta pertanggungjawaban
Orang tua siswi, Herprastyanti Ayuningtyas buka suara terkait dugaan anaknya dipaksa mengenakan jilbab. Hal itu dibenarkan Budhi Masturi yang menerima email dari ibu yang bersangkutan.
Dalam keterangannya, Yanti membeberkan bahwa anaknya tiba-tiba menelepon dirinya saat pelajaran sekolah masih berlangsung, pada 26 Juli 2022. Anaknya hanya menelepon tanpa suara.
Bingung dengan perilaku anaknya yang tiba-tiba, Yanti mengecek pesan Whatsapp dan menemukan anaknya ketakutan dan meminta pulang saat itu juga.
Menurut Yanti, anaknya sempat menjelaskan alasannya tidak berkenan menggunakan atribut keagamaan kepada para guru yang sebelumnya menginterogasi. Kendati begitu, setiap ke sekolah anaknya selalu ditanya mengapa tak menggunakan jilbab dan pada momen puncak, anaknya dipakaikan jilbab.
“Ini bukan tutorial jilbab karena anak saya tak pernah minta diberi tutorial. Ini adalah pemaksaan,” ujar Yanti.
Siswi tersebut akhirnya merasa dipojokkan dan menjadi depresi, bahkan saat ini masih harus mendapat bantuan psikologi.
Kemendikbudristek turun tangan
Dugaan pemaksaan pemakaian jilbab di Bantul ini terus berlanjut hingga sempat menjadi trending topic di Twitter. Bahkan Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) turun tangan.
Irjen Kemendikbud Ristek, Chatarina Muliana Girsang menemukan adanya unsur pemaksaan dalam persoalan jilbab tersebut.
“Iya (ada unsur pemaksaan pemakaian jilbab) yang dilakukan, yang menimbulkan rasa tidak nyaman. Karena itu yang menyebabkan anak tersebut curhat dengan ibunya,” kata dia.
Menurutnya pemaksaan itu terbukti. Sebab dari rekaman CCTV terlihat bahasa tubuh siswi menolak untuk dipakaikan jilbab dengan hanya menunduk ketika dipakaikan. Menurut Kemendikbud Ristek, tergambar ada unsur pemaksaan.
Empat guru termasuk kepala sekolah dinonaktifkan
Buntut polemik dugaan pemaksaan pemakaian jilbab kepada siswi tersebut berujung pada penonaktifkan empat guru, termasuk Kepala Sekolah SMAN 1 Banguntapan, Agung Istianto.
Hal itu dilakukan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX lantaran guru yang terdiri dari dua guru BK dan satu wali kelas dan kepala sekolah melanggar aturan Permendikbud Nomor 45/2014 tentang Pakaian Seragam Sekolah Bagi Peserta Didik Jenjang Pendidikan Dasar Dan Menengah.
“Satu kepala sekolah dan tiga guru (SMAN 1 Banguntapan) saya bebaskan dari jabatannya, tidak boleh mengajar dulu sambil nanti ada kepastian,” kata Sri Sultan.
Para guru dinonaktifkan sementara waktu. Namun polemik yang hingga kini masih didalami tim satuan tugas dari Pemda DIY tak menutup kemungkinan memberikan sanksi pemberhentian secara tidak hormat.
Menjaga akreditasi sekolah
Tak ada asap jika tak ada api. Persoalan itu adalah untuk menjaga akreditasi sekolah berada di level yang ideal.
Menelisik dari kriteria akreditasi sekolah oleh Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah yang harus dipenuhi, salah satu parameternya adalah siswa-siswi ini menunjukkan perilaku religius dalam beraktivitas di sekolah atau madrasah.
Parameter itu nantinya dilaporkan oleh sekolah dengan dokumentasi foto kegiatan keagamaan di sekolahnya. Di sisi lain, SMAN 1 Banguntapan juga membuat program keagamaan seperti mengaji bersama dan juga tadarus dengan target membaca satu pekan dua juz.
Dari penelusuran ORI DIY, hal tersebut masih harus diperdalam lagi termasuk penggunaan atribut keagamaan. Mengingat interpretasi setiap orang termasuk pihak sekolah dalam menafsirkan parameternya berbeda.
“Tapi memang judul dari item penilaian akreditasi itu membuka ruang untuk diinterpretasikan beragam tergantung nanti kemudian interest dari si orang yang menginterpretasikan,” ujar Budhi Masturi.